Tangguh Desa Adat di Bali, Ini Penjelasan Kadis Kebudayaan Kabupaten Badung   

Salah Satu Spot Foto di Bali

 

Bali, Pelopor9.com -Keberadaan desa adat di Provinsi Bali begitu tangguh. Sejumlah instrumen penyangga desa adat memiliki kekuatan yang terwujud dalam aturan yang mengikat dan lestari, peran tokoh dan kelembagaan adat, serta landasan filosofis yang menempatkan desa adat sebagai satu-kesatuan kosmologis yang harmonis dalam hubungan kesalingan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, sesama manusia dan alam.

 

Kadis Kebudayaan Kabupaten Badung, Drs. I Gede Eka Sudarwitha, S. Sos, M. Si dalam rapat studi banding (stuba) yang berlangsung di ruang Kriya Gosana Kantor Bupati Badung, Senin (6/9/21) mengatakan keberadaan desa adat di Provinsi Bali begitu tangguh karena dilegitimasi berbagai hal yakni aturan, lembaga-lembaga adat terkait dan falsafah Tri Hita Karana.

 

Dikatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengukuhkan keberadaan desa adat dengan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Seturut Perda tersebut, arah dan kebijakan pembangunan dan keberadaan desa adat, Bupati Badung dalam pemerintahan dan pembangunan mewujudkannya dalam visi-misi, sasaran dan tujuan strategis yang dicapai sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Badung.

 

Lembaga desa adat di Bali dalam pengelolaan dan pengembangannya menjadi kewenangan Pemprov Bali. Karena, konsep kewilayahan Provinsi Bali sebagai satu-kesatuan yang utuh yang terdiri dari wilayah kabupaten/kota sebagai penyangga dan dikelola dengan konsep Padma Bhuwana yang bertujuan mewujudkan keindahan wilayah sebagai suatu kesatuan wilayah yang tidak dipisahkan satu sama lain.

 

Ini dapat diwujudkan karena Pemprov Bali membuat Perda sesuai kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat desa adat. "Seperti, Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Subak satu lembaga di sawah untuk mengelola sawah. Selain itu, lembaga perkreditan desa untuk mengurus perekonomian desa. Aturan lain yang patuh ditaati seperti Awig-Awig yang dibuat desa adat dan Pararem sebagai pelaksanannya.

 

Terkait lembaga-lembaga penyokong desa adat, I Gede Eka Sudarwitha menyebut Banjar sebagai bagian dari desa adat, Bandesa sebagai pucuk prajuru, Sabha sebagai mitra kerja yang bertugas melaksanakan fungsi pertimbangan dan pengelolaan desa adat, Kertha berfungsi menyelesaikan perkara sesuai hukum adat, Pacalang sebagai satuan tugas keamanan tradisional, organisasi desa pemuda-pemudi desa yang disebut Yowana dan Majelis Desa Adat yang berwewenang dalam pengamalan adat-istiadat yang bersumber dari Agama Hindu.

 

Selanjutnya, keberadaan desa adat memiliki landasan filosofis yang sangat kuat karena berdasarkan falsafah Tri Hita Karana, tiga penyebab terciptanya keindahan sebagai konsep kosmologis dan falsafah hidup yang tangguh. Satu-kesatuan kosmologis yang indah dapat tercipta karena relasi kesalingan yang harmonis antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. (R-2/ans)